SEJARAH DAN ILMU-ILMU SOSIAL

 

SEJARAH dan ilmu-ilmu sosial mempunyai hubungan nmbal-balik Sejarah diuntungkan oleh ilmu-ilmu sosial, clan sebaliknya. Dalam Sejarah Bani, yang memang lahir berkat ilmu-ilmu sosial, penjelasan sejarah didasarkan atas ilmu-ilmu sosial. Belajar sejarah tidak dapat dilepas-kan dari belajar ilmu-ilmu sosial, meskipun sejarah punya cara sendiri menghadapi obyeknya. Topik-topik barn ter­pikirkan, berkat ilmu-ilmu sosial. Meskipun demikian, periu dungat bahwa sejarah dan ilmu-ilmu sosial berbeda tujuannya. Tujuan sejarab ialah mempelajari hal-hal yang unik, tunggal, idiografis, dan sekali terjadi; sedangkan ii­mu-ilmu sosial tertarik kepada yang umum, ajeg, nomo-tetis, dan merupakan pola. Pendekatan sejarah juga ber­beda dengan ilmu-ilmu sosial. Sejarah itu diakronis, me­manjang dalam waktu, sedangkan ilmu-ilmu sosial itu sinkronis, melebar dalam ruang. Sejarah mementingkan proses, sementara ilmu-ilmu sosial menekankan struktur.

 

 

Kegunaan Sejarah untuk Ilmu-ilmu Sosial

 

Sejarah mempunyai kegunaan untuk ilmu-ilmu sosial dalam tiga hal: (1) Sejarah sebagai kritik terhadap ge­neralisasi ilmu-ilmu sosial, (2) permasalahan sejarah da­pat menjadi permasalahan ilmu-ilmu sosial, dan (3) pen­dekatan sejarah yang bersifat diakronis menambah di­mensi baru pada ilmu-ilmu sosial yang sinkronis.

 

Sejarah sebagai kritik terhadap generalisasi ilmu-ilmu sosial

Max Weber (1864-1920) dalam metodologi ilmu-ilmu sosi~ menggunakan ideal type (tipe yang abstrak) untuk mempermudah penelitian, yang sangat berguna bagi seja­rawan. Namun, ketika dihadapkan pada kenyataan histo­ris yang faktual, ternyata tipe ideal itu banyak yang ti-dak mempunyai dasar faktual. Buku Weber yang terkenal, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (dalam bahasa Jerman keluar tahun 1904-1905, dalam terjemahan Inggeris 1930), menyatakan bahwa timbulnya kapitalisme ialah karena adanya semangat Protestantisme yang mem­perkenankan orang untuk menimbun kekayaan, tidak untuk dinikmati, tetapi untuk mengabdi pada Tuh an. Jadi orang mulai menanam dan menanam modal. Buku We­ber yang lain, The Religion of China, banyak dikecam karena mengandung kelemahan, Weber tidak peka de­ngan periodisasi sejarah. Dalam buku itu dia membuat kesimpulan-kesimpulan umum mengenai Cina dengan menghubungkan fakta-fakta dari periode yang berlainan.

 

Buku Karl Wittfogel, Oriental Despotism, yang berisi teori tentang hydraulic society yang diambil dari studi tentang adanya despotisme dalam masyarakat pengguna air sungai - di sekitar sungai-sungai Nil, Indus, dan Yan,g Tse Kiang. Di sana bisa timbul raja yang berkuasa mutlak untuk membagikan air. Bila teori hydraulic society itu akan dipakai untuk menganilis birokrasi di Jawa, misal-nya, pertanyaan apakah di tempat ini benar-benar ada hy­draulic society harus dijawab. Memang di Jawa ada patrirnonialisme, tetapi kekerasan dan kekejaman yang ada sifatnya individual, tidak masal, sebab di Jawa raja tidak bisa membiayai tentara yang jumlahnya besar. Ketika Sultan Agung menyerbu Batavia pada 1628, ia menggu-nakan bupati pantai utara Bahureksa. Di Bali teori itu akan dihadapkan pada fakta sejarah, karena urusan air di Bali diatur oleb lembaga subak, dan tidak oleb negara.

 

Permasalahan sejarah dapat menjadi permasalahan ilmu-ilmu sosial

Untuk Indonesia, banyak tulisan sudab dikerjakan oleb sosiologi pedesaan dengan permasa lab Tanam Pak­sa. Soedjito Sosrodihardjo sudah menulis tentang struktur masyarakat Jawa dan Loekman Soetrisno tentang peru­bahan pedesaan, kedua-duanya adalab sosiolog.

Contoh lain yang paling spektakuler ialah buku Bar­rington Moore, Jr., Social Origins of Dictatorship and Democracy. Lord and Peasant in the Making ofthe Mod­ern World, yang membuat generalisasi tentang revolusi Inggris, Perancis, Amerika, Cina, Jepang, dan India. Bar­rington Moore, Jr. membuat generalisasi tentang tiga jalan menuju dunia modern. Jalan pertama ialah gabungan antara kapitalisme dan demokrasi parlementer, seperti ditempuh Revolusi Puritan, Revolusi Perancis, dan Re-volusi Amerika. Jalan kedua ialah juga kapitalisme, tetapi peran negara sangat dominan, sehingga ada revolusi dari atas yang bermuara pada fasisme, seperti dialami oleb Jerman dan Jepang. Jalan ketiga ialah lewat komunisme, seperti dialami oleh Rusia dan Cina. Adapun India, tidak mengenal revolusi borjuis, revolusi konservatif, atau revolusi komunis. Karena itu India mengalami stagnasi pada tahun 1960-an. Mengenai peranan petani dikata-kannya bahwa petani menentukan dalam revolusi di Ru-sia dan Cina, penting di Perancis, kecil di Jepang, tidak penting di India, dan meragukan (trivial) di Jerman dan Inggris.

Ada lagi Roland Mousnier yang membandingkan revo-lusi petani dan Eric R. Wolf mengenai perang petani pada abad ke-20.

 

Pendekatan sejarah yang bersifat diakronis menambah dimensi baru pada ilmu-ilmu sosial yang sinkronis

Dua buku Clifford Geertz, Agricultural Involution:

The Process of Ecological Change in Indonesia dan The Social History of an Indonesian Town, ada lah contob penggunaan pendekatan sejarah untuk antropologi.

Buku pertama, yang sudab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Geertz melakukan analisis atas per­ubahan ekologi di Jawa. Dengan membedakan Indone­sia dalam dan Indonesia luar, yang mempunyai ekologi yang berbeda, yaitu sawab dan ladang, Geertz bertanya mengapa Jawa dapat menampung pertambahan pendu-duk. Kuncinya terletak karena sejak abad ke-19 di Jawa ditanam tebu. Ternyata, tebu dapat bersimbiose dengan padi. Demikianlah, di Jawa meskipun ada shared poverty, kemiskinan, tetapi Jawa dapat menampung banyak penduduk.

Dalam buku yang kedua, Geertz melukiskan bahwa kota Mojokuto yang ditelitinya berdiri pada abad ke-19 di jalan di mana perusahaan-perusahaan pertanian mulai beroperasi. Kota itu dapat menjadi contoh bagi banyak kota di ujungJawa Timur, yang merupakan wilayahfron­tier yang barn dibuka bersamaan dengan pembukaan perkebunan. Penduduk kota-kota itu adalah migran dan ternpat4empat lain yang tenaga kerjanya mengalami te­kanan karena Tanam Paksa.

Kedua buku itu menjadi contob bagaimana sejarab yang lebib menekankan proses dapat membantu ilmu-ilrnu sosial yang menekankan struktur.

Buku Elly Touwen-Bouwsma, Staat, Islam en locale leiders in West Madura, Indonesia: Een historisch-an-thropologisch studie, selain riset antropologi dengan pe­nelitian lapangan, juga dikombinasikan dengan penemu­an-penemuan sejarab. Selain dia, juga tentunya lebih ba­nyak lagi penelitian dan jurusan Niet-westerse sociologie yang berbuat serupa.

Hasil dan perpaduan itu tetap diakui sebagai ilmu sosial dan bukan sejarab. Misalnya, kita kenal historical sociology dan historical demography. Batas antara kedua-nya seringkali kabur.

 

 

Kegunaan Ilmu-ilmu Sosial untuk Sejarah

 

Sejarah Baru yang memang lahir dan adanya perkem­bangan ilmu-ilmu sosial menjadi bukti bagaimana besar pengaruh ilmu-ilmu sosial pada sejarab. Pengarub ilmu-ilmu sosial pada sejarah dapat kita golongkan ke dalarn empat macam, yaitu (1) konsep, (2) teori, (3) permasalahan, dan (4) pendekatan.

Meskipun demikian, penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam sejarah itu bervariasi. Variasi itu ialah (1) yang menolak samasekali, (2) yang menggunakan secara implisit, dan (3) yang menggunakan secara eksplisit. Tentu saja ada varian campuran dan kekaburan batas.

Yang menolak sama sekali penggunaan ilmu-ilmu sosial berpendapat:

(1) Bahwa penggunaan ilmu-ilmu sos ial akan berarti hilangnya jatidiri sejarab sebagai ilmu yang diakui kebera­daannya, jadi sejarab cukup dengan common sense (akal sehat, nalar umum, akal sehari-hari) dan penggunaan dokumen secara kritis. Tanpa ilmu-ilmu sosial sejarab dapat menjadi dirinya sendiri. Sejarab itu barns mendekati obyeknya tanpa prasangka intelektual (memakai sema­cam grounded research). Dan penelitian akan timbul dengan sendirinya pengelompokan-pengelompokan, dan dalam kita akan dapat insight, tidak dan luar melalui il­mu-ilmu sosial. Misalnya, tanpa konsep intelektual apa pun kita tahu bahwa ada revolusi antara tahun 1945-1950.

(2) Penggunaan ilmu-ilmu sosial hanya akan menja­dikan sejarab ilmu yang tertutup secara akademis dan personal. Dan sudut pandang akademis, tanpa ilmu-ilmu sosial sejarab bersifat multidisipliner. Dengan ilmu-ilmu sosial, sejarab akan kehilangan sifat kemandiriannya seba­gai the ultimate interdisciplinarian. Secara personal, seja-rab akan punya peristilahan teknis, dan mi tidak meng­untungkan. Sebab, orang yang “hanya" berbicara dengan bahasa sehari-hari akan menyingkir. Kemana mereka, kalau tidak ke sejarab? Begitu banyak orang berbakat tetap menjadi amatir, banya karena sej arab menggu­nakan ilrnu-ilmu sosial.

Ternyata, tanpa ilmu-ilmu sosial, sejarah dapat ditulis dengan baik. Tulisan Taufik Abdullah, Schools and Poli­tics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933) Demikian juga buku-buku H. J. de Graaf tentang Matararn, M. C. Ricklefs tentang Yogyakarta abad ke-18, Peter Carey tentang Yogyakarta abad ke-19, dan Leonard Blusse tentang Batavia abad ke~17. Semua itu ditulis de­ngan kekayaan dokumen, ketelitian, sikap kritis, cerdas, clan rhetorika yang baik. Jangan sampai penggunaan ana­lisis ilmu-ilmu sosial, dipakai untuk menutupi kekurangan rhetorika.

Akan tetapi, mereka yang tidak memakai ilmu-ilmu sosial pun setuju babwa pendidikan ilmu-ilmu sosial amat penting karena ilmu-ilmu sosial akan mempertajam in­sight sejarawan.

Adapun penggunaan ilmu-ilmu sosial meliputi:

 

Konsep

Babasa Latin conceptus berarti gagasan atau ide. Sadar atau tidak, sejarawan banyak menggunakan konsep ilmu­ilrnu sosial. Anbar Gonggong dalam disertasi tentang Ka­har Muzakkar menggunakan konsep localpolitics untuk rnenerangkan konflik antar golongan di Sulawesi Selatan. Untuk menjelaskan pribadi Kahar Muzakkar ia memakai konsep sirik dan eth no psychology yang berarti barga di­ri atau martabat. Demikianlab, Kahar barus pergi meran-tau karena sirik dan kembali ke Sulawesi Selatan juga ka-rena sink.

Suhartono dalam, Apanage dan Bekel. Peru bahan So­sial di Pedesaan Surakarta, 1830-1920, menggunakan konsep rural elite untuk menerangkan bekel dan konsep counter elite dan rural bandit untuk menerangkan peram-pok kecu.

 

Teori

Babasa Yunani theoria berarti, di antaranya, "kaidah yang mendasari suatu gejala, yang sudah melalui verifikasi"; ini berbeda dengan hipotesis (Webster's New Twen­tieth Century Dictionary).

T. Ibrahim Alfian dalam buku, Perang difalan Allah menerangkan Perang Aceh dengan teori collective be­havior dan Neil J. Smelser. Dalam teori itu diterangkan babwa perilaku kolektif dapat timbul, melalui dua syarat, yaitu ketegangan struktural structural strain dan keya-kinan yang terse bar (generalized belie]). Ada ketegangan antara orang Aceb dengan pemerintab kolonial, antara muslim dengan kape, yang menghasilkan ideologi perang sabil.

 

Permasalahan

Dalam sejarah banyak sekali permasalahan ilmu-ilmu sosial yang dapat diangkat jadi topik-topik penelitian sejarab. Soal seperti mobilitas sosial, kriminalitas, migrasi, gerakan petani, budaya istana, kebangkitan kelas mene­ngab, dan sebagainya.

Untuk memberi contob satu saja dan sekian banyak kemungkinan, ambillah buku Sartono Kartodirdjo et al., Perkembangan Peradaban Priyayi. Buku itu ditulis ber­dasarkan permasalahan elite dalam pemerintaban kolo-nial, kemunculannya, lambang-lambangnya, dan perubahan-perubabannya

 

Pendekatan.

Sebenarnya, semua tulisan sejarah yang melibatkan penelitian suatu gejala sejarah dengan jangka yang relatif panjang (aspek diakronis) dan yang melibatkan penelitian aspek ekonomi, masyamkat, atau politik (aspek sinkronis) pastilah memakai juga pendekatan ilmu-ilmu sosial.

Pemakaian yang implisit ialah tulisan Soegijanto Pad-mo, The Cultivation of Vorstenlanden Tobacco in Surakarta Residency and Besuki Tobacco in Besuki Residency and fts Impact on the Peasant Economy and Society: 1860-1960. Tulisan yang membicarakan penanaman tem-bakau dan pengaruhnya pada ekonomi dan masyarakat in] rnernakai pendekatan ilmu-ilmu sosial, sehingga tu-lisan itu bisa kita masukkan dalam sejarah sosial.

Agak eksplisit ialah disertasi Kuntowijoyo, "Social Cha­nge in an Agrarian Society: Madura, 1850-1940". Sebagaimana judulnya disertasi itu membicarakan Madura yang berubah dan patrimonialisme ke kolonialisme. Disertasi itt', di antaranya, menanyakan mengapa dalam perubahan kelas tidak terjadi. Apa yang disebut Vilfredo Pareto se­bagai circulation of the elites tidak ada di Madura. Ter­nyata jawabnya ialah karena Belanda menjamin bahwa para bangsawan akan dipekeriakan sebagai pegawai, baik sipil atau militer.

Di bawah mi akan diberikan contoh, bagaimana ilmu­ilrnu sosial berguna untuk sejarah. Bagi tiap ilmu akan diberikan tiga kasus fiktif, sekedar sebagai gambaran ba-gaimana ilmu-ilmu sosial memperkaya sejarab.

 

Sosiologi. Spesialisasi dalam sosiologi, seperti sosiologi keluarga, sosiologi desa, dan sosiologi kota; teori-teori sosiologi, seperti stratifikasi, revolusi, kekuasaan; konsep-115

konsep sosiologi, seperti mobilitas sosial, perubahan so­sial, dan solidaritas; semuanya perlu dikuasai untuk me­nulis sejarah sosial.

 

Ekonomi. Ada pertanyaan, siapakah yang berbak menu­lis sejarab ekonomi: ekonom atau sejarawan? Jawabnya ialah siapa saja - termasuk orang di luar dua disiphin itu -- yang menguasai kaidah-kaidah penelitian ekonomi dan sejarab. Sejarawan yang akan melakukan penulisan sejarab ekonomi, barns menguasai konsep-konsep ilmu ekonomi, meskipun sederhana. Konsep-konsep seperti ekonomi makro, ekonomi mikro, ekonomi pembangunan, pemasaran, inflasi, devaluasi, agio, upah, gaji, biaya, bunga, nilai tambab, barga, dan sewa barns dikuasai.

 

Demografi. Yang harus diketahui oleh sejarawan, yang bukan demografer, sebenarnya masib dalam jangkauan. Dengan membaca buku-buku demografi orang akan mendapat feeling apa yang termasuk permasalahan de­mografi. Konsep-konsep sederbana, seperti perkembang-an penduduk, sensus, proyeksi, fertilitas, mortalitas, mor­biditas, umur, jenis kelamin, dan migrasi barus dikenal.